Selasa, 20 Juli 2010

Kepemimpinan Masyarakat Sipil

“Kepemimpinan’’yang di hasilkan institusi formal sedang di pertanyakan. Citra partai politik (parpol) yang menjadi agen politik modern indonesia kian hancur dihadapan masyarakat. Survey terbaru LSI (lembaga Survei Indonesia) menyebutkan bahwa parpol merupakan “kantong” korupsi terbesar di lembagaan politik Indonesia. Hal yang sama terjadi di legislatif,baik pusat maupun daerah sebagai produk parpol, situasinya dalam pengawasana kejaksaan. Bahkan Amin Rais, mantan ketua MPR RI menyebutkan sebagai “tukang stempel” pemerintah, dan Gus Dur,mantan presiden RI menyamakannya dengan Taman kanak-kanak
Bila situasinya demikian, tak heran bila kepemimpinan yang muncul bukan “by design”, namun “by accident” ia tercipta bukan melalui proses alamiah yang menempanya menjadi “makhluk unggul”. Sehingga fenomena yang muncul, sepanjang tahun 2000 hingga 2006 pihak kejaksaan sibuk menangani kasus korupsi kader-kader terbaik parpol, baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif.

Minggu, 11 Juli 2010

Tips Mendapatkan Ide dalam Membuat Tulisan

Bukan rahasia lagi bahwa semua kita pernah mengalami ‘musibah’ kehabisan ide untuk dituangkan dalam tulisan. Untungnya ada seribu satu macam cara yang bisa ditempuh untuk tetap bisa menjadi seorang bloger yang produktif.
Tulisan ini saya buat untuk lebih memotivasi diri saya sendiri yang merasa masih tertatih-tatih dalam menulis. Sebagian besar tips ini sejatinya saya adaptasikan dari sebuah tulisan dalam kompasiana yang sempat saya baca.

Senin, 05 Juli 2010

Menyelesaikan Konflik

Konflik merupakan sesuatu yang melekat dalam kehidupan manusia, ketika berinteraksi,berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai pihak dalam berbagai kondisi dan peristiwa. Untuk itu perlu adanya analisis konflik untuk bisa menyelesaikan konflik yang ada dengan tepat, analisis konflik dalam konteks pembangunan merupakan suatu alat yang digunakan untuk menelaah, menemukan dan memformulasikan kondisi masyarakat secara komprehensif dalam kerangka program pembangunan mencakup perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Konflik adalah mengenai persepsi dan pengertian orang-orang mengenai kejadian, kebijakan dan institusi. Analisis konflik disini membantu para pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan kembali perspekstif mereka, yang lebih sering sangat dipengaruhi oleh emosi, salah-pengertian, asumsi, kecurigaan dan ketidakpercayaan. 

Kamis, 27 Mei 2010

My Poem

Jaritan hati

Dikeheningan malam
Ku terdiam membisu
Menanti keajaiban datang
Hati ini menjerit
Batin ini meronta
Dan ku tak kuasa menahannya
Gemuruh ombak gelombang hati
Siap menerjang dan menerkam mangsa itu

My Gallery

Kamis, 20 Mei 2010

Makna Sebuah Agama

Terkadang aku berfikir dalam kesendirianku, apa sebenarnya agama itu? Tapi aku tak jua menemukan jawabannya, yang ku temukan adalah realitas yang menyedihkan hatiku. Aku terpaku dan terus bertanya, apakah benar agama mengajarkan seperti apa yang aku lihat dalam realitas kehidupan ini?

contact me

You can contac me:
Phone number : +6285735412199
Email : tomindbutterflys@gmail.com
Name : umy's

Selasa, 18 Mei 2010

Makna Percaya

Percaya adalah suatu hal yang bagus, tetapi menempatkan kepercayaan-kepercayaan dalam tingkah laku adalah bak suatu ujian kekuatan. Betapa banyak orang yang berbicara bagai gemuruh ombak laut tetapi hidup mereka dangkal dan mandeg, bak rawa-rawa busuk. Banyak orang mengangkat kepala mereka di atas puncak-puncak gunung, tapi jiwa mereka terlelap dalam keremangan gua-gua.

Rabu, 17 Maret 2010

Makna Demonstrasi

ketika aku masih dibangkukliah dulu sering di wejangi oleh seniorku, dia sering berkata "jangan bertanya apa yang telah diberikan organisasi ke kita? tapi tanyalah apa yang telah kita berikan pada organisasi kita?

Minggu, 14 Februari 2010

Pendidikan Islam

A. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan pewaris dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran Islam sebagai yang termaktub dalam al-Qur’an dan terjabar dalam Sunnah Rosul, yang dimaksudkan adalah dalam rangka terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.1) Dengan demikian ciri yang membedakan antara pendidikan Islam dengan yang lain adalah pada penggunaan ajaran Islam sebagai pedoman dalam proses pewarisan dan pengembangan budaya ummat manusia tersebut.

Sekolah Ramah Anak

KONSEP SEKOLAH RAMAH ANAK

A. Pengertian Sekolah Ramah Anak
1. Pengertian Sekolah
Kata sekolah secara bahasa berasal dari bahasa latin: skhole, scola, scolae, schola yang berarti “waktu luang”.26) Permasalahannya, pemahaman akan makna waktu luang telah mengalami distorsi. Waktu luang diartikan sebagai sanati setelah beraktivitas apapun, ia bisa baca koran, ngerumpi, nonton TV, jalan-jalan, ngobrol bersama keluarga, dan berbagai aktifitas rutin.

Islam Agama yang ramah Anak

1. Islam Itu Damai (Ramah Anak)

Kata “Islam” berasal dari bahasa arab yang memiliki beberapa makna. Pertama : Islam merupakan akar kata aslama – yuslimu – islaman yang berarti khadla’a, atau inqaada yaitu submission, resignation, surrender, yielding, giving up, giving in atau tunduk, pasrah, menyerah, ketundukan, tau penyerahan diri.

Konsep Pendidikan Islam

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

Pandangan dasar yang berhubungan dengan pengembangan teorisasi dalam Ilmu Pendidikan Islam adalah mencakup permasalahan kependidikan yang pada garis besarnya dapat dianalisa dari aspek-aspek konsepsional tentang :
a. Hakikat pendidikan Islam adalah proses membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik agar menjadi manusia dewasa sesuai tujuan pendidikan Islam
b. Asas pendidikan Islam adalah asas perkembangan dan pertumbuhan dalam peri kehidupan yang berkeseimbangan antara kehidupan duniawiah dan ukhrawiyah, jasmaniyah dan rohaniah atau antara kehidupan materiil dan mental spiritual. Asas-asas yang lain dalam pelaksanaan operasional seperti asas adil dan merata, asas menyeluruh dan asas integritas, adalah juga dijadikan pegangan dalam pendidikan praktis sesuai pandangan teoritis yang diperangi

Kamis, 21 Januari 2010

pendidikan tanpa kekerasan

Kekerasan sudah sedemikian merajalela ! Kesan itu semakin menyesakkan hati ketika kekerasan ternyata juga merambah dunia pendidikan, wilayah yang seharusnya menjadi wahana inseminasi nilai-nilai moral, peradaban dan ilmu pengetahuan. Sebagian pihak pun kemudian tergoda untuk memberikan kesimpulan awal bahwa sendi-sendi pendidikan telah terpuruk.

Profil kekerasan terhadap anak dalam Islam menjadi kasus yang mencolok. Islam menolak bentuk kekerasan terburuk selama sejarah peradaban manusia dan mengkritik secara kejam perlakukan orang jahiliyah yang mengubur anak perempuan hidup-hidup karena dianggap sebagai bumerang dalam keluarga.[1] Namun persoalan kekerasan terhadap anak hingga hari ini merupakan satu dari sekian kasus yang masih merupakan satu dari sekian kasus yang masih sering muncul dan melibatkan orang-orang terdekat sebagia pelaku, bahkan orang-orang yang semula dianggap sebagai gurunya atau pengasuh yang melindungi anak justru menjadi pelaku penting kekerasan.




Tak seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Sebagaimana tujuan pendidikan yang tertuang dalam sistem kerja GBHN yang isinya adalah :

Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan yang terampil. Kesehatan Jasmani dan Rohani, Kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[2]

Melihat betapa luhurnya tujuan pendidikan yang tertulis dalam GBHN tersebut, maka tujuan pendidikan dalam GBHN itu akan tercapai apabila proses yang dilalui oleh anak didik dalam pendidikan dilakukan dengan cara yang luhur pula. Yaitu dengan proses pendidikan yang ramah terhadap anak, tidak dengan cara yang kasar atau malah dengan cara kekerasan.

Sedikitnya ada dua prisma pemikiran yang terbangun ketika kristalisasi tujuan pendidikan akan dicapai lewat beberapa usaha. Pertama; aspek mana yang lebih dikedepankan untuk terjadinya percepatan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, aspek spiritual dan aspek material. Kedua; lembaga mana yang lebih berkompetensi serta mempunyai peluang dalam mengefektifkan pelaksanaan pendidikan untuk menjemput cita-cita pendidikan dalam program data pelaksanaannya.

Segala pendidikan pada dasarnya tetap diorientasikan pada bagaimana seorang peserta didik di masa depan dapat tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki harga diri dan kepribadian yang tidak sombong di masyarakat nantinya. Sebagaimana pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa pendidikan adalah “human investment”, ini berarti bahwa secara historis maupun filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etika dalam proses pembentukan jati diri bangsa.[3]

Oleh karena itu bagaimana sekarang memposisikan proses pembelajaran sebagai hal yang suci dan sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu sebuah proses pembelajaran yang tidak menindas dan tidak ada yang tertindas. Ketika seseorang merasakan hak-haknya dirampas, maka seharusnya ia menuntut. Pada dasarnya tidak ada yang dapat mengubah nasib kita kecuali diri kita sendiri.

Peserta didik dalam proses pendidikan adalah manusia. Sedang semua orang tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ia hidup dalam hubungannya dengan orang lain dan hidupnya bergantung pada orang lain. Karena itu manusia tidak mungkin hidup layak di luar masyarakat.[4]

Pendidikan merupakan tumpuan bagi masyarakat untuk bisa merubah keadaan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, obyektif, maupun “detachment” dari kondisi masyarakat.[5] Sedang pendidikan kita selama ini masih berjalan dengan verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan mata pelajaran. Pendidikan seakan terlepas dari kehidupan keseharian, seakan-akan pendidikan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari.

Menurut John Dewey ada dua hal dalam bukunya social and society, bahwa :

1) Jika masyarakat berubah, sekolah juga harus berubah, sebab sekolah merupakan tempat untuk mempersiapkan anak-anak untuk hidup dalam masyarakat.

2) Jangan sampai terjadi apa yang dipelajari di sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.[6]

Untuk itulah materi yang diajarkan dalam dunia pendidikan tidak boleh menyimpang dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Satu hal yang harus juga diperhatikan oleh para gurua, anak bukan sebuah cangkir yang dengan seenaknya diisi tanpa memperhatikan si anak itu merasa nyaman dalam proses pembelajaran itu apa tidak. Sesungguhnya kehidupan anak penuh dengan dinamika sesuai dengan perkembangan jiwanya. Pendidikan kecakapan hidup untuk anak-anak menjadi tidak berarti manakala bernuansa paksaan dengan pilihan-pilihan yang sempit, karena sudah ditentukan.[7]

Sekolah harus menjadi pusat kehidupan mereka saat ini. Mereka harus benar-benar menikmati pusat kehidupan itu. Sekolah adalah sumber kegembiraan, bukan sumber stres yang biasanya membuat mereka kehilangan gairah.

Menurut Romo Mangun,

Kemerdekaan dalam pendidikan dilihat sebagai kemampuan anak untuk mengakses pengetahuan dengan caranya sendiri. Masing-masing individu membangun kekuasaannya sendiri sebagai subjek.[8]

Para bijak sering memberi nasihat bagus. Bila ingin tahu wajah pendidikan di suatu negara, lihatlah apa yang terlihat pada wajah anak-anak sekolah dasar (SD) saat mereka pergi ke sekolah setiap hari. Di negeri ini, terutama di kota-kota besar, hampir menjadi pemandangan umum di pagi hari, anak-anak sekolah begitu keberatan beban. Tas dipunggung yang begitu besar, kelihatan penuh berisi buku-buku. Bahkan, sering terlihat karena tidak mampu menggendong tas berisi buku, anak-anak SD terpaksa menyeret tas yang sudah dilengkapi roda. Tidak hanya itu, pemandangan yang sepertinya keberatan beban itu masih ditambah dengan pemandangan lain. Tangan kiri menenteng tas berisi berbagai tugas sekolah, tangan kanan memegang tempat minum.

Wajah-wajah tertekan hampir terlihat dari setiap anak didik setiap kali mereka masuk sekolah. Suasana riang baru terasakan, saat mereka menerima pengumuman hari libur, atau pulang pagi karena guru rapat atau ada keperluan lain.

Sekolah kini tidak lagi menjadi tempat nyaman bagi anak-anak. Guru menjadi agen pengawas, penindas, dan merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadi lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pendek kata, sekolah tidak lagi menjadikan anak-anak merasakan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi justru mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan.

Hasil temuan komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari pengaduan masyarakat bahwa potert penyelenggaraan pendidikan selama ini masih terjadi ketidakpastian yang cukup serius, diantaranya: pertama, kekerasan berupa hukuman badan (Corporal Punishment) di beberapa sekolah telah menjadi bagian dari cara mendisiplinkan anak dalam memberikan hukuman badan bagi siswa yang melanggar disiplin dan hal yang umum dilakkan di sekola-sekolah; kedua, kekerasan sering terjadi saat anak dalam perjalanan pergi-pulang dan berada di sekolah; ketiga, kekerasan berupa penolakan sekolah terhadap anak berkebutuhan khusus.[9]

Pendidikan di sekolah seperti disebutkan di atas atau pendidikan yang membuat anak merasa terancam, disebutnya sebagai pedagogik hitam (schwarzer pedagogik).[10] Pertanyaannya kini adalah apakah pendidikan di Indonesia juga mengarah menjadi pedagogik hitam? Entahlah. Yang jelas, pendidikan di Indonesia sedang mengalami stres.

Melihat berbagai masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini, dengan skripsi ini penulis mencoba menjelaskan betapa pentingnya pendidikan yang mengedepankan kebebasan berekspresi para peserta didik sebagai keharusan sejarah dalam penyelenggaraan pendidikan dimanapun.

Sebagai salah satu tawaran, Sekolah Ramah Anak mencoba untuk bisa masuk ke dunia pendidikan anak-anak. Dunia anak adalah bermain. Dalam bermain itulah sesungguhnya anak melakukan proses belajar dan bekerja. Sekolah merupakan tempat “bermain” yang memperkenalkan persaingan antar siswa yang sehat dalam sebuah proses belajar mengajar.[11]

Seperti pemandangan yang mungkin tidak asing lagi bagi kita, sering kali guru memberikan hukuman fisik hanya karena tidak mengerjakan tugas rumah. Dan tentunya ini termasuk salah satu kekerasan dalam pendidikan dan hal ini merupakan perilaku melampaui batas, kode etik dan aturan dalam pendidikan, baik dalam bentuk fisik maupun pelecehan atas hak seseorang. Pelakunya bisa siapa saja : pimpinan sekolah, guru, staf, murid, orang tua atau wali murid, bahkan masyarakat.[12]

Melihat kekerasan yang kadang dilakukan oleh Guru itu, maka sekolah Ramah anak ini sebisa mungkin melakukan proses pendidikan tanpa kekerasan. Prinsip – prinsip yang diterapkan dalam Konsep Sekolah Ramah Anak ini adalah jika saat ini sekolah hanya menuntut anak dengan berbagai nilai-nilai positif berdasarkan perspektif prestasi orang tua dan target pengajaran para pendidik, maka sekolah perlu menciptakan ruang bagi anak untuk berbicara mengenai sekolahnya. Tujuannya agar terjadi dialektika antara nilai yang diberikan oleh pendidik kepada anak. Para pendidik tidak perlu merasa terancam dengan penilaian peserta didik karena pada dasarnya nilai tidak menambah realitas atau substansi pada objek, melainkan hanya nilai. Nilai bukan merupakan benda atau unsur dari benda, melainkan sifat, kualitas, sui generis, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”.[13]

Prinsip lainnya adalah sekolah bukan merupakan dunia yang terpisah dari realitas keseharian anak dalam keluarga karena pencapaian cita-cita seseorang anak tidak dapat terpisahkan dari realitas keseharian.[14] Penting bagi peserta didik untuk memiliki pemahaman bahwa ilmu yang didapat di sekolah tidak terpisah dari kehidupan riil.


[1] Mufidah Ch. Haruskah Perempaun dan Anak Dikorbankan? (Malang: Pilar Media, 2006), 61.

[2] Chalijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan (Surabaya : Al – Ikhlas, 2004), 180.

[3] Karnadi Hasan, Paradigma Pendidikan Islam (Semarang : Pustaka Pelajar, 2001), 233.

[4] Widda Djohan, Sosiologi Pendidikan (Ponorogo : STAIN Po Press, 2007), 43.

[5] Mansour Fakih, dkk., Pendidikan Popular (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), xiii.

[6] Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa (Yogyakarta : Hikayat, 2004), 191-192.

[7] Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah (Yogyakarta : PT LKis Pelangi Aksara, 2007), V.

[8] Y. Dedi Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional (Yogyakarta : Kanisius, 2007), 15.

[9] Susanto, “Menggagas Pendidikan Ramah Anak”, Tunas Bangsa (Edisi 02-2007), 7.

[10] Riant Nugroho, Pendidikan Indonesia : Harapan, Visi, dan Strategi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), 27.

[11] Basuki_afi@yahoo.com, diakses tanggal 19 April 2009.

[12] Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004), 7.

[13] Risieri Frondizi 2001: 9 lihat : Basuki-afi@yahoo.com, diakses tanggal 19 April 2009.

[14] Yulfita 2000 : 22 lihat : Basuki_afi@yahoo.com, diakses tanggal 19 April 2009.