Minggu, 14 Februari 2010

Islam Agama yang ramah Anak

1. Islam Itu Damai (Ramah Anak)

Kata “Islam” berasal dari bahasa arab yang memiliki beberapa makna. Pertama : Islam merupakan akar kata aslama – yuslimu – islaman yang berarti khadla’a, atau inqaada yaitu submission, resignation, surrender, yielding, giving up, giving in atau tunduk, pasrah, menyerah, ketundukan, tau penyerahan diri.


Kedua : Kata Islam berasal dari kata salima artinya selamat. Maksudnya selamat dunia akhirat. Juga Islam merupakan jalan keselamatan bagi manusia untuk meraih kebahagiaan dunia akhirat. Ketiga : Islam berasal dari kata silmun artinya damai, yakni damai dengan Allah, damai dengan makhluk dan damai dengan sesama. Damai dengan Allah tidak lain adalah taat kepada Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya.

Taat kepada Allah berarti menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangn-Nya. Damai dengan makhluk berarti memperlakukan alam semesta (flora, fauna, mineral dan lainnya baik makhluk hidup maupun mati) sebagai sesama makhluk Allah, berinteraksi secara santun, melindungi dan melestarikan alam. Damai dengan sesama berarti hidup rukun dengan sesama manusia, tidak berbuat jahat, bahkan berbuat baik kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan agama, warna kulit, ras, seks (gender), suku, bangsa, bahasa, keturunan, kekayaan, pangkat atau kedudukan dan lain sebagainya.

Hubungan antar sesaam manusia ini merupakan perwujudsan ajaran Islam tentang persaudaraan (ukhuwah), baik antar sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), sesama bangsa (Ukhuwah wathaniyah), maupun sesama manusia sedunia (ukhuwah Insaniyah). Allah berfirman :
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Berdasarkan pengertian di atas menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang memiliki prinsip nilai luhur yang menghargai kemanusiaan sesuai dengan fitrahnya dan mengutamakan keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan dan perdamaian. Dalam hal ini ada beberapa prinsip dalam Islam, di antaranya :
Pertama, Sumber normative Islam adalah Al Qur’an dan Hadits. Meskipun kata Al Qur’an dapat diartikan sebagai “bacaan” atau “kumpulan firman Allah”, namun fungsi Al Qur’an itu sendiri bukan untuk sekedar “dibaca” dan “dikumpulkan” sebagai pajangan di rak buku. Lebih dari itu Al Qur’an berfungsi sebagai petunjuk (huda) bagi orang yang bertaqwa ke jalan yang lurus. Serta gambar gembira bagi orang yang beramal sholeh.
Kedua, ajaran pokok Islam meliputi keimanan (Aqidah), hukum (Syariah), dan modal Islami (Akhlak). Inti dari keimanan adalah tauhid atau mengesakan Tuhan dalam segala hal, yakni beriman kepada Allah, kepada Malaikat, Kepada Kitab Allah, Kepada Utusan Allah, Kepada Hari Kemudian, dan Kepada Ketentuan Allah. Sikap bertauhid ini diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran bahwa semua manusia adalah sama-sama sebagai makhluk. Perbedaan warna kulit, ras, seks, gender, bangsa, agama, bahasa, keturunan, status sosial, dan lain sebagainya. Merupakan sunatullah dan seharusnya tidak boleh dijadikan sebagai pengesyahan untuk permusuhan dan konflik kekerasan.
Ajaran tentang syariah atau hukum Islam yang mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhannya (hablun min Allah) terwujud pada ketaatan dan ketaqwaan seorang hamba terhadap Tuhannya, yakni dalam bentuk ibadah. Sedangkan hukum Islam yang mengatur hubungan antara sesama manusia (hablun min al nas) terwujud dalam interaksi sosial antar sesama manusia dalam bentuk muamalat. Ajaran tentang akhlak bersangkut paut dengan gejala jiwa yang dengannya dapat menimbulkan perilaku.
Ketiga, Sumber dan ajaran Islam sudah semestinya diaktualisasikan dalam kehidupan. Aktualisasi ini menyangkut pelaksanaan hak dan kewajiban seseorang kepada Tuhannya, Rosulnya, diri sendiri, sesama manusia, keluarga, masyarakat, alam semesta dan ilmu pengetahuan.

2. Tujuan Pendidikan Islam
Banyak para peneliti yang mengemukakan tentang tujuan dari pendidikan Islam, di antaranya adalah Nahlawy (1963 : 67) yang menunjukkan empat tujuan umum dalam pendidikan Islam, yaitu :
a. Pendidikan akal dan persiapan pikiran, Allah menyuruh manusia merenungkan kejadian langit dan bumi gar dapat beriman kepada Allah
b. Menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakat asal pada kanak-kanak. Islam adalah agama fitrah, sebab ajarannya tidak asing dari tabiat asal manusia, bahkan ia adalah fitrah yang manusia diciptakan sesuai dengan-Nya, tidak ada kesukaran dan perkara luar biasa
c. Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik lelaki ataupun perempuan
d. Berusaha untuk menyeimbangkan segala potensi-potensi dan bkat-bakat manusia
Atau lebih tegas lagi tujuan pendidikan adalah untuk menjawab persoalan untuk apa kita hidup. Firman Allah :
Artinya : Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(QS. Az Zariyat : 56)
Menyembah atau ibadah dalam pengertian yang luas berarti mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia menurut petunjuk Allah. Apakah sifat-sifat Allah itu ? yaitu sifat dua puluh, tetapi diberi 99 nama dan disebut Al Asma Al Husna. Yaitu nama-nama Allah yang baik seperti Ar Rahman, Ar rahim, Al Qudduss dan lain sebagainya.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa modal dasar pendidikan Islam adalah fitrah, ini berarti bahwa manusia lahir dengan potensi yang kita katakan tadi sifat-sifat Tuhan yang diberikan kepada manusia yang tergambar dalam sifat dua puluh yang mempunyai 99 nama itu. Termasuk ilmu, berkuasa, bercakap, kasih sayang dan lain-lain.
Pandangan dunia (world view) Islam bersifat Humanis Teosentris. Konsep ini mengandung arti bahwa keseluruhan alam semesta berpusat pada Tuhan, di mana alam tunduk kepadanya dan manusia tidak memiliki tujuan hidup lain kecuali menyembah kepadanya. Hal ini menjadi indikasi konsep kehidupan yang teosentris. Tapi kemudian ternyata bahwa sistem tauhid ini mempunyai arus balik kepada manusia. Maka di dalam Islam konsep teosentrisme ternyata bersifat humanistic. Artinya, menurut Ilam manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Jadi humanisme teosentrisme inilah yang merupakan nilai-nilai (Core value) dari seluruh ajaran Islam.
Sifat humanis teosentris sebagai pandangan dunia (world view) dalam Islam akan menjadi konsep dasar dari pemikiran pendidikan Islam. Sifat ini terlihat pada watak dasarnya yang tidak pernah terlepas dari konsep khalifah sebagai mabda’nya dan konsep ‘abd sebagai maqshd al a’dham. Artinya konsep pendidikan Islam haruslah berpihak pada konsep khalifah baik sebagai titik awal, proses maupun produk. Sebagai titik awal, artinya dalam pendidikan subjek didik haruslah di pandangan sebagai manusia yang berfungsi sebagai Khalifah Allah fi Al Ardl yang punya misi untuk memakmurkannya. Sebagai proses, artinya agar subjek didik mampu mengembang manat Allah yang dibebankan kepadanya, yakni sebagai khalifah Allah, maka ia harus diproses dalam dunia pendidikan dengan cara menanamkan nilai-nilai ke dalam dirinya. Pengertian nilai-nilai di sini bukan hanya sebatas pada pentransferan ilmu pengetahuan, budaya, moral, etika dan sopan santun, namun nilai-nilai itu juga mempunyai daya motivator yang tinggi bagi subjek didik untuk bersikap kreatif dan proaktif dalam memecahkan problematika-problematika hidup dan merubah tatanan sosial yang dianggapnya tidak baik. Sedangkan sebagai produk, artinya setelah subjek didik mengalami proses pendidikan, ia diharapkan mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang pernah didapat dari proses pendidikan, sehingga dalam produknya ia benar-benar menjadi Khalifah Allah fi Al Ardhl. Kemudian konsep ‘abd sebagai maqshad al a’dham, artinya segala perilaku yang merupakan produk dari pendidikan itu haruslah bertujuan untuk mengabdi kepada Allah semata bukan kepada selain-Nya.

3. Metode Pendidikan Islam
a. Metode Amaliya atau Praktek
Ajaran Islam tidak cukup diberikan nasehat, melainkan memerlukan amal nyata sehingga esensi ajaran Islam tidak dipahami sekedar sebagai simbol, namun terbentuk dalam pribadi manusia secara totalitas.
b. Metode Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Kebanyakan perilaku kekerasan yang ada di berbagai negara, bukan terjadi karena substansi kekerasannya, melainkan karena fungsi manusia dalam menjalankan yang makruf dan larangan yang munkar tidak berjalan secara efektif. Firman Allah :
Artinya : kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imron : 110)
Implikasinya metode amar makruf nahi munkar dalam pendidikan bisa terwujud melalui penegakan aturan, tata tertib, kode etik dan disiplin civitas akademika.
c. Metode Nasehat
Sesungguhnya Al Qur’an datang dengan membawa nasehat dan pelajaran yang jelas bagi manusia. Allah berfirman :
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(QS. An Nisa : 58)
d. Metode Kisah
Dalam kisah seringkali terdapat perumpamaan (amtsal) atau ibarat dan karena itu metode ini bisa juga dinamai dengan metode amtsal atau ibrah. Allah berfirman :
Artinya : Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.(QS. Yusuf : 111)
e. Metode Uswatun Hasanah
Di antara faktor-faktor yang berpengaruh bagi pendidikan anak dalam kehidupan sehari-hari adalah keteladanan. Dengan keteladanan, baik dari orang tua, guru, masyarakat, tokoh maupun jagoan fiktif yang diidolakan, mampu mendorong seseorang menjadi manusia yang saleh atau merusak dirinya sendiri dan menjadi jahat. Al Qur’an menandaskan dengan tegas pentingnya teladan dan pergaulan yang baik dalam membentuk kepribadian seseorang. Sedang teladan muslim adalah Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman :

Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab : 21)
Di sekolah, seorang guru menjadi teladan ; di rumah orang tua adalah sosok teladan. Oleh karenanya, baik guru maupun orang tua tidak bisa mengelak dari tanggungjawabnya untuk memberi contoh yang baik, sebab perilakunya akan membekas dalam diri anak. Bila keteladanan guru dan orang tua sudah tidak didapat, maka anak kan mencari keteladanan di luar mereka, dari teman, lingkungan, masyarakat atau dari media massa yang lebih sulit untuk dikontrol, bahkan seringkali membawa pengaruh negatif bagi anak didik.
f. Metode Hiwar (Metode tanya jawab, dialog, diskusi, debat dan sejenisnya)
Metode ini menumbuhkan sikap kritis dan saling pengertian. Pertumbuhan sikap saling mengerti di tengah masyarakat merupakan masalah mendasar, sebab dengan saling pengertian meskipun beda pendapat dapat menyebabkan orang dengan budaya, bahasa, agama, ras, seks, adat dan status sosial yang berbeda, dapat duduk berdampingan satu sama lain dalam agree in disagreement.

4. Etika Guru Terhadap Murid
Ajaran Islam sarat dengan nilai kasih sayang. Tiap kali seorang muslim hendak membaca Al Qur’an, ia dianjurkan untuk mengawali bacaannya dengan ucapan Bismillah Al Rahman Al Rahim, dengan nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Bahkan setiap amalan yang dilakukan oleh seorang muslim, dianjurkan untuk mengawalinya dengan ucapan tersebut.
Ini berarti bahwa Islam mendidik umatnya agar memiliki karakter sebagai manusia yang penuh kasih sayang, penyantun, pengampun atau pemaaf, membawa berkah bagi yang lain dan menjalin tali rahim sehingga tercapai kasih sayang pada dasarnya membawa nikmat. Sebab, dengan kasih sayang, kebencian dapat berubah menjadi kecintaan. Bahkan, sikap mengasihi ini tidak sebatas sesama manusia, melainkan sesama makhluk.
Ajaran yang telah disebutkan di atas tadi menjadi kode etik bagi penyelenggaraan pendidikan Islam, utamanya bagi para pelaku pendidikan seperti guru dan murid.
Mengenai ini Al Ghazali menerangkan etika guru terhadap murid sebagai berikut :
a. Guru harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memperlakukan mereka seperti perlakuan terhadap anak sendiri
b. Hendaknya guru tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi bermaksud mengajar untuk mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada Tuhan
c. Hendaknya guru memberi nasehat kepada murid setiap ada kesempatan
d. Hendaknya mencegah murid dari akhlak yang tidak baik dengan jalan sendirian jika mungkin, dan jangan dengan cara terus terang, dengan jalan halus dan jangan mencela
e. Guru hendaknya memperhatikan tingkat akal pikiran, anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya dan jangan disampaikan sesuatu yang melebihi tingkat tangkapnya, agar ia tidak lari dari pelajaran. Ringkasnya bicaralah dengan bahasa mereka
f. Seyogyanya murid yang masih di bawah umur diberikan pelajaran yang jelas dan pantas buat dia, dan tidak perlu disebutkan kepadanya akan rahasia-rahasia yang terkandung di belakang semua itu, hingga tidak menjadi dingin kemauannya atau gelisah pikirannya
g. Sang guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlain kata dengan perbuatannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar