Selasa, 20 Juli 2010

Kepemimpinan Masyarakat Sipil

“Kepemimpinan’’yang di hasilkan institusi formal sedang di pertanyakan. Citra partai politik (parpol) yang menjadi agen politik modern indonesia kian hancur dihadapan masyarakat. Survey terbaru LSI (lembaga Survei Indonesia) menyebutkan bahwa parpol merupakan “kantong” korupsi terbesar di lembagaan politik Indonesia. Hal yang sama terjadi di legislatif,baik pusat maupun daerah sebagai produk parpol, situasinya dalam pengawasana kejaksaan. Bahkan Amin Rais, mantan ketua MPR RI menyebutkan sebagai “tukang stempel” pemerintah, dan Gus Dur,mantan presiden RI menyamakannya dengan Taman kanak-kanak
Bila situasinya demikian, tak heran bila kepemimpinan yang muncul bukan “by design”, namun “by accident” ia tercipta bukan melalui proses alamiah yang menempanya menjadi “makhluk unggul”. Sehingga fenomena yang muncul, sepanjang tahun 2000 hingga 2006 pihak kejaksaan sibuk menangani kasus korupsi kader-kader terbaik parpol, baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif.



Selain faktor di atas, Kebangsaan Indonesia tengah menghadapi ancaman polarisasi etnik dan agama, dan keberadaan negara Indonesia (masih) digerogoti oleh gerakan separatis di sejumlah daerah. Karenanya, penguatan integrasi nasional menjadi salah satu agenda utama berbagai kelompok masyarakat sipil di Indonesia. Banyak LSM telah memprakarsai berbagai program dan kegiatan guna mencegah terjadinya disintegrasi ini. Upaya-upaya tak kenal lelah terus dilakukan oleh lembaga-lembaga non-pemerintah untuk mengeksplorasi berbagai kejahatan negara, seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh para aparatur negara. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan organisasi masyarakat sipil di Indonesia bahwa praktik-praktik misgovernance merupakan akar penyebab berbagai chaos yang berlangsung di negeri ini.
Menjaga keutuhan bangsa dan negara merupakan upaya yang paling krusial di Indonesia. Ketika konsep negara-bangsa (nation-state) menjadi kian tidak relevan di Eropa seiring dengan munculnya federalisme regional, seperti Masyarakat Uni Eropa, sebaliknya di Asia Tenggara dan belahan bumi lainnya konsep ini masih perlu difungsionalisasikan dan dibela lewat perangkat-perangkat demokratis.



Di negara demokrasi yang mapan, partai politik menjadi satu yang penting dalam menghasilkan kepemimpinan. Namun dalam konteks indonesia, mengandalkan parpol dengan berbagai kelemahannya untuk membangun kepemimpinan di Indonesia, sama saja dengan memberikan “check kosong” disini diperlukan organisasi masyarakat sipil kuat yang memberi alternatif kaderisasi kepemimpinan disamping parpol. James Gomes, peneliti pada Federich Nauman Foundation, mengungkapkan bahwa dua alasan mendasar tentang angin perubahan yang datang dari organisasi masyarakat sipil Pertama, gerakan masyarakat sipil selalu dipengaruhi sistem demokrasi yang berkembang didunia. Kedua, gerakan masyarakat sipil merupakan semangat murni (genuen desire) dari warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Di Indonesia, peran utama masyarakat sipil bukan untuk melawan negara, melainkan merepresentasikan kepentingan publik. Apakah ini dilakukan dengan menekan atau bekerja sama dengan pemerintah adalah hal-hal yang sesungguhnya bersifat kasuistik. Pertumbuhan masyarakat sipil yang sehat di Indonesia menghajatkan sikap fleksibel vis-a-vis pemerintah dan negara.
Menjadi pertanyaan, kenapa masih banyak pihak yang membahas persiteruan negara dan masyarakat sipil?
Menurut Shimson Zelniker, direktur Van Leer Jerusalem Institute, obsesi ini muncul dari dua hal. Pertama, tidak ada definisi yang tegas tentang masyarakat sipil (civil society) hingga sekarang. Apa yang kita miliki hanyalah “gambaran” mengenai masyarakat sipil. Kedua, gagasan yang berkembang seputar masyarakat sipil sangat dipengaruhi oleh Charles Taylor—penulis Stages of Civil Society in Public Culture (1990) dan seseorang yang paling bertanggung jawab—menancapkan tonggak “ketegangan negara-masyarakat sipil” sebagai sebuah dimensi signifikan menyangkut eksistensi masyarakat sipil. Masih menurut Zelniker, Taylor menganggap “masyarakat sipil” (civil society) sebagai sebuah konstruk analitik, bukan seseuatu yang bersifat sosiologis. Bagi Taylor, masyarakat sipil adalah sebuah heuristic device untuk menekankan segi-segi “modernitas” dan “demokrasi”, dan bukan “kehidupan sosial dan politik per se”.
Sementara itu, Gerhard Lehmbruch, seorang Profesor Emiritus dari Universitas Konstanz di Jerman, lebih jauh melacak dimensi historis tentang asal-usul sengketa negara dan mansyarakat sipil ini. Ia menyatakan bahwa ketegangan ini bermula dari konsep klasik yang dikembangkan oleh Hegel lewat bukunya Philosophy of Right, yang ditulis pada 1921. Dalam buku ini, konsep klasik Yunani koinonia politike, yang dalam bahasa Latin disebut societas civilis, dalam bahasa Jerman dinamakan buegerliche Gesellschaft, dan dipahami sebagai antonim kata Staat (negara). Dalam konsep Hegel, buegerliche Gesellschaft dibedakan dari negara dalam pengertian bahwa ia adalah sebuah ruang apolitik di mana pribadi-pribadi bertemu dengan pemilik (tanah/rumah), dan berhubungan satu sama lain lewat aktivitas pekerjaan masing-masing.
Lalu, prinsip-prinsip apa yang perlu dipegang erat-erat dalam upaya kita membangun masyarakat sipil di Indonesia?
Menurut Alberto de Capitani, paradigma mutakhir masyarakat sipil “merayakan kelompok-kelompok perantara dan organisasi-organisasi sukarelawan sebagai tempat lahirnya demokrasi “ (celebrate intermediate groups and voluntary organizations as the cradle of democracy). Oleh karena itu, gambaran Taylor tentang masyarakat sipil adalah sebagai “ruang yang menyuguhkan rasa dan kebiasaan mengatur diri sendiri” (space which provides the taste and habit of self-rule). Taylor selanjutnya mengungkapkan bahwa masyarakat sipil “hadir untuk melawan negara, dan berlaku independen dari negara. Ia meliputi dimensi-dimensi kehidupan sosial yang tidak bisa dicampuradukkan dengan atau ditelan habis oleh negara” (exists over against the state, in partial independence from it. It includes those dimensions of social life which cannot be confounded with, or swallowed up in the state).
Namun demikian, keberadaan masyarakat sipil juga menyisakan prolem tersendiri. Nancy Bermeo dari Bank Dunia pernah mengingatkan banyak pihak agar tidak terjebak pada sikap dan upaya meromantisasikan masyarakat sipil. Hematnya, ada dua mitos terkait dengan masyarakat sipil.
Pertama, “mitos ketunggalan” (the myth of singularity). Mitos ini telah mambawa orang untuk meyakini bahwa hanya ada satu macam masyarakat sipil di masyarakat atau negara manapun. Kenyataannya adalah bahwa masyarakat sipil adalah “gabungan dari kelompok-kelompok yang saling bersaing” (composite of often competing groups), dan keberhasilan gerakan dan perjuangan mereka dalam mengusung pemerintahan yang baik “tergantung pada bagaimana kelompok-kelompok tersebut berinteraksi satu sama lain seperti halnya bagaimana mereka saling mempengaruhi dengan negara” (depends as much upon how such groups interact with one another as upon how they interact with the state).
Kedua, “mitos kepadatan” (the myth of density). Mitos ini telah menjebak banyak ilmuan sosial untuk percaya bahwa “makin memadatnya masyarakat sipil akan meningkatkan kemungkinan prilaku warga negara yang baik maupun pemerintahan yang [juga] baik” (increasing density of civil society increases the likelihood of either good civic behavior or good government). Untuk menunjukkan betapa kelirunya anggapan demikian, ia mengingatkan fenomena historis kelabu pada tiga negara: Weimar Jerman (1918-1933), Italia prafasis (1915-1922), dan Republik Kedua Spanyol (1931-1939). Pada tiga negara ini, masyarakat sipil sangat tersusun rapi dan solid, namun kebanyakan mereka berlaku antidemokratis. Nancy Bermeo menyimpulkan bahwa masalah kehidupan organisatoris bukanlah persoalan struktur (structure), melainkan lebih kepada isi (content).
Mochtar Buchory percaya bahwa organisasi masyarakat sipil tetap mampu bertahan dan berkembang secara perlahan di Indonesia, namun keberadaannya amat dipengaruhi oleh proses pergantian kepemimpinan (Development of Civil Society and Good Governance in Indonesia, 1999). Sementara, AS. Hikam berpendapat bahwa peranan masyarakat sipil—yang dimanifestasikan oleh kiprah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)—bakal meningkat seiring dengan kecenderungan masyarakat global terhadap debirokratisasi (Non-Governmental Organizations and the Empowerment of Civil Society, 1999). Philip L. Eldridge, seorang pengamat LSM di Indonesia, menulis bahwa tugas utama LSM di Indonesia adalah meningkatkan kapasitas kalangan masyarakat yang kurang atau tidak beruntung buat mengatur diri sendiri (self-management) dan membuat mereka mampu berhadapan dengan lembaga-lembaga pemerintah maupun kekuatan lainnya berdasarkan perlakuan dan kedudukan yang sama. Berbagai LSM muncul sebagai respon terhadap kecenderungan konsentrasi kekuasaan dan top-down approach dalam proses pembangunan di bawah rezim Soeharto (NGOs and the State of Indonesia, 1990).
Keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pergantian pemerintahan dan tuntutan terhadap reformasi dalam segala bidang, termasuk pemerintahan, telah melahirkan momentum buat perluasan wilayah masyarakat sipil. Masyarakat sipil juga telah berkontribusi secara aktif buat memastikan bahwa pemilu berjalan secara adil dan bebas. Pelbagai group pemantu pemilu, misalnya, didirikan untuk mencegah berulangnya praktik kecurangan suara oleh aparat negara. Namun demikian, perlu diakui bahwa sebagian besar LSM masih lemah dan memiliki kapasitas yang terbatas. Secara keuangan kelanjutan mereka masih tergantung pada bantuan lembaga-lembaga asing.
Masyarakat sipil sebagai sebuah asosiasi warga negara yang independen dan sukarelawan bukanlah hal yang baru dalam sejarah Indonesia. Kita memiliki masyarakat sipil tradisional di masa lalu yang “berdaya” memenuhi kebutuhan masyarakat yang terlepas dari negara. Tetapi, keadaan telah berubah. Dalam atmosfer hari ini, di tengah-tengah tekanan kekuatan globalisasi, kita dituntut untuk memperbaharui pemikiran kita tentang masyarakat sipil yang relevan dengan kondisi dan tujuan kita. Apa yang perlu kita bangun adalah masyarakat sipil yang mampu dan siaga menanggulangi pelbagai krisis yang tengah kita hadapi. Pengalaman negara lain berperan hanya sebagai perbandingan, bukan sebuah “resep” yang harus diikuti secara membabi-buta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar