Minggu, 14 Februari 2010

Sekolah Ramah Anak

KONSEP SEKOLAH RAMAH ANAK

A. Pengertian Sekolah Ramah Anak
1. Pengertian Sekolah
Kata sekolah secara bahasa berasal dari bahasa latin: skhole, scola, scolae, schola yang berarti “waktu luang”.26) Permasalahannya, pemahaman akan makna waktu luang telah mengalami distorsi. Waktu luang diartikan sebagai sanati setelah beraktivitas apapun, ia bisa baca koran, ngerumpi, nonton TV, jalan-jalan, ngobrol bersama keluarga, dan berbagai aktifitas rutin.

Untuk memahami apa sebenarnya waktu luang, Krishnamurti (1981) menerangkan:27)
“Arti senggang ialah batin mempunyai waktu tak terbatas untuk mengamati: mengamati apa yang terjadi di sekelilingnya dan apa yang berlangsung dalam dirinya sendiri; mempunyai waktu senggang untuk mendengarkan, dan untuk melihat dengan jelas. Senggang berarti ada kebebasan, yang umumnya ditafsirkan sebagai berbuat semaunya, sesuatu yang memang lazim dilakukan orang dari anggapan yang menimbulkan kekacauan besar, penderitaan dan kebingungan. Senggang berarti bahwa batin tenang, tidak ada motif, dan karena itu tidak ada arah. Inilah senggang, dan hanya dalam keadaan inilah batin mungkin belajar, tidak hanya sains, sejarah, matematik, tetapi juga tentang dirinya sendiri”.

Inilah pengertian sekolah sesungguhnya. Sekolah bukan hanya tempat untuk memperoleh pengetahuan atau informasi sebanyak-banyaknya tapi jauh lebih penting dari semua itu adalah sebagai wadah bagi guru dan siswa untuk sama-sama belajar, sama-sama mengamati apa yang terjadi di seklilingnya dan terlebih lagi pengamatan terhadap diri masing-masing. Kesemua itu harus terjadi pada saat batin tenang dan itulah makna senggang sesungguhnya. Belajar dapat berlangsung dengan sempurna pada saat batin tenang tanpa tekanan.28)
Beberapa kata sudah menjadi sedemikian fleksibel sehingga tidak ada gunanya lagi. “Sekolah” dan “mengajar” adalah contoh kata seperti itu. Seperti amoeba, kata-kata ini bisa menyusup ke dalam hampir semua celah bahasa. Dengan demikian upaya mencari alternatif pendidikan harus dimulai dengan kesepakatan menganai apa yang kita maksudkan “sekolah”.29) Ini dapat dilakukan dengan beberapa cara.30) Demi mengembangkan suatu bahasa yang memungkinkan kita berbicara tentang sekolah tanpa terus menerus mengacu pada pendidikan, kita mulai dengan sesuatu yang disebut fenomenologi sekolah umum.
Sekolah mengelompokkan orang menurut umur. Pengelompokkan ini didasarkan pada tiga premis yang diterima begitu saja. Anak hadir di sekolah. Anak belajar di sekolah. Anak hanya bisa diajar di sekolah.31) Kesemuanya merupakan premis-premis yang tidak bertanggungjawab, karena belum teruji kebenarannya, dan menjadi pembahasan yang perlu dipersoalkan secara serius. Kenyataannya, banyak anak-anak kehilangan mas kanak-kanaknya. Mereka tidak bisa merasakan masa kanak-kanak. Kebanyakan orang di dunia ini tidak mau atau tidak bisa menjamin masa kanak-kanak bagi anak cucu mereka.
Tapi juga tampak bahwa masa kanak-kanak merupakan suatu beban bagi sejumlah besar anak di antara segelintir anak yang masih menghargai masa kanak-kanak itu. banyak di antara mereka sekedar terpaksa melewatinya dan tidak benar-benar bahagia memainkan peran seorang anak kecil. Tumbuh melewati masa kanak-kanak berarti terpaksa mengalami suatu proses konflik yang tidak manusiawi di antara kesadaran diri dan peran yang dipaksakan oleh masyarakat sebagai anak usia sekolah.
Seandainya tidak ada lembaga pendidikan yang mengenal batas umur dan usia wajib sekolah, tidak akan ada lagi “masa kanak-kanak”. Kaum muda tidak akan lagi beringas. Seandainya masyarakat berhasil mengatasi masa kanak-kanaknya, ia akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi kaum muda. Pemisahan yang sekarang ada antara masyarakat dewasa yang menganggap diri manusiawi dan lingkungan sekolah yang melecehkan realitas tidak bisa dipertahankan lagi.
Kebutuhan akan suasana yang khas masa kanak-kanak menimbulkan suatu pasar yang tak ada batasnya akan guru-guru yang diakui keahliannya. Kita harus merubah asumsi bahwa sekolah adalah lembaga yang dibangun atas dasar anggapan kegiatan belajar adalah hasil dari kegiatan mengajar. Dan kearifan yang berkaitan dengan lembaga terus saja menerima anggapan ini, terlepas dari begitu banyak bukti yang menunjukkan hal yang sebaliknya.
Begitu sekolah-sekolah kita didirikan sebagai tempat menjajakan “barang-barang” yang bernama ilmu pengetahuan, yang harus dimiliki” setiap orang agar bisa bertahan hidup. Maka, kita mengagumi “kecerdasan”. Karena itulah mata uang paling bergengsi yang digunakan untuk membeli “barang-barang” tersebut. Dan belajar adalah transaksinya.32) Di sekolah seperti itu anak-anak belajar “menguasai” pelajaran. Bukan menjadi sesuatu dengan pelajaran tersebut. Makin banyak pelajaran yang dapat mereka kuasai, makin baik transaksi mereka. Maka, seolah-olah berburu anak-anak cerdas, yang melakukannya banyak transaksi.
Akan tetapi yang kemudian kita saksikan justru sebuah ironi. Anak-anak itu tidak mengalami transformasi pembelajaran. Pelajaran matematika misalnya, tidak serta merta membuat mereka dapat berpikir logis. Pelajaran sejarah tidak memberi mereka kesadaran dan emosi akan identitas kolektif. Pelajaran bahasa bahkan tidak membantu mereka berbahasa dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Selagi pendidikan berperan sebagai pusat perubahan konstruktif di dunia saat ini, lembaga-lembaga pendidikan tetap saja terkenal sulit diperbaharui. Ada yang pernah berkata, lebih gampang memperbaharui sebuah makam ketimbang universitas. Terlalu mudah, untuk hanya sekedar mengikuti praktek tradisional dan menganggap kegagalan-kegagalan sekolah adalah hasil perbuatan yang samar-samar dari sekelompok mafia pendidikan yang keji.33)
Lebih baik kita menganggap, seperti dilontarkan oleh Silberman,34) “biang kegagalan persekolahan bukannya kolusi dan komplotan jahat ‘melainkan’ ‘kekerasan’ (banalitas) dan sikap dan tindakan ‘tanpa pikir’: gagalnya seluruh jajaran pendidikan untuk ‘berpikir mendalam dan secara serius mengenai tujuan-tujuan serta konsekuensi-konsekuensi pendidikan – inilah jantung persoalan pendidikan kita”.
Selanjutnya Siberman berkata:35)
… pada dasarnya, para guru, kepala sekolah, dan para pemilik sekolah adalah orang-orang yang baik, cerdas dan peduli, yang mencoba untuk melakukan yang sebaik mungkin sebisa-bisanya. Andai mereka merusakkan pekerjaan mereka itu, dan sebagian dari mereka memang melakukannya, itu karena tidak pernah terpikir oleh mereka – kecuali segelintir saja – untuk bertanya mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan itu – untuk mempertanyakan secara serius dan sungguh-sungguh tentang tujuan atau konsekuensi pendidikan.
****
Jika perilaku ‘tanpa pikir’ adalah persoalan utama pendidikan kita maka penyelesaiannya mustilah dengan cara menyuntikkan tujuan, atau lebih penting lagi dengan pemikiran tujuan, serta cara-cara dimana berbagai teknik, isi pengajaran, dan pengorganisasian pendidikan memenuhi ataukah justru melenyapkan tujuan. Itu semua harus disuntikkan ke lembaga-lembaga itu untuk mengacau pemahaman tentang ‘rutinitas’ sebagai ‘tujuan’ dengan ‘tindakan yang bertujuan’, untuk menjadikan ‘cara-cara’ sebagai tujuan itu sendiri, maka pencangkokkan tujuan itu tadi jelas akan bisa rampung dengan sekali tembak.
Salah satu dari sekian hal yang membuat sekolah-sekolah kita saat ini jadi mencengangkan adalah persis adanya kenyataan bahwa sekolah-sekolah itu – dengan segenap ketidakpedulian dan kesalah-pahaman dalam ruang lingkup yang lebih kecil memantulkan konflik-konflik intelektual dan moral budaya yang lebih luas.36)
Ironisnya, pertanyaan tentang apa arti pendidikan dan bagaimana seharusnya pendidikan itu telah menjadi pokok kepedulian pendidikan kontemporer. Sekolah-sekolah itu telah menjadi sadar diri. Seperti banyak siswa yang menuntut ilmu di dalamnya, mereka mengalami krisis jati diri. Akibatnya, perdebatan tentang tujuan-tujuan yang lebih besar dalam pendidikan kini tidak lagi menjadi hal yang tersisih ke pinggiran, yang jarang dipakai sebagai bahan pertimbangan. Ia kini memiliki status sebagai prioritas, sebagaimana mustinya sejak awal, yakni di jantung kurikulum pendidikan.
Belajar adalah proses berubah secara konstan!37)
Pengetahuan bukan barang yang harus kita miliki. Pengetahuan adalah sebuah fungsi. Ia adalah cahaya yang menerangi ruang kesadaran batin kita. Seperti umumnya cahaya yang berpendar-pendar di tengah ruang gelap., kita hanya bisa bergerak secara baik dalam jengkal-jengkal ruang yang dibingkai cahaya. Sebagai sebuah fungsi, kita harus mempelajari semua pengetahuan yang membantu kita berubah menjadi lebih baik. Belajar adalah proses menggunakan pengetahuan sebagai penuntun perjalanan mendekati kesempurnaan yang konstan. Belajar adalah proses menjadi secara konstan. Karena menjadi merupakan proses yang tidak pernah berakhir, belajar adalah satu-satunya proses kehidupan yang tidak pernah selesai.
Persekolahan saat ini lebih menitikberatkan pada manusia-manusia being ketimbang mengkombinasikan being dan become. Menurut Yusran Pora dalam bukunya “Selamat Tinggal Sekolah”, manusia becoming adalah manusia masa kini. Dimana manusia memiliki tiga atribut dasar: intelligence38), free-will39), speech40). Manusia yang melakukan pengamatan mumi dari waktu ke waktu tentang lingkungan serta dirinya. Sesuatu masa kini adalah sesuatu yang menyatu, terang dan aktif.41)
Kita semua telah belajar sebagian besar apa yang kita ketahui justru di luar sekolah .murid melakukan sebagian besar kegiatan belajar mereka tanpa guru, dan sering sendiri meski ada guru. Lebih tragis lagi, kebanyakan orang diajar oleh sekolah, walaupun mereka tidak pernah ke sekolah. Sekolah, dari nama saja, cenderung menyita seluruh waktu dan tenaga guru maupun murid. Ini pada gilirannya, akan membuat guru sebagai pengawas, pengkhotbah dan ahli terapi. Dalam setiap peran ini guru mendasarkan otoritasnya atas anggapan yang berbeda.
Ketidakpastian mengenai masa depan kegiatan mengajar yang profesional menempatkan sekolah dalam posisi yang riskan. Seandainya para profesional di bidang pendidikan memang ahli memajukan kegiatan belajar mengajar, mereka harus mengabaikan sistem yang menuntut pertemuan tatap muka menyeramkan. Tentu saja para guru bisa melakukan lebih banyak hal lagi.
Kearifan yang berkaitan dengan lembaga sekolah mengatakan kepada orang tua, murid, dan pendidik bahwa guru, kalau sedang mengajar, harus menunjukkan wibawanya dalam penampilan yang angker. Ini bahkan berlaku juga bagi guru yang murid-muridnya menghabiskan sebagian besar waktu sekolahnya di sebuah ruang kelas tanpa tembok pemisah, semisal Sekolah Alternatif, Sekolah Alam (SA).
Semisal, Sekolah Peradaban – Cilegon – Banten merupakan salah satu sekolahan yang menerapkan pola pendidikan yang berbasiskan cara-cara otak bekerja dalam menyerap suatu informasi atau ilmu. Pola ini kemudian menjadi motto Sekolah Peradaban: “Belajar Sesuai Cara Otak Belajar”. Sekolah Peradaban juga mengadopsi sistem Multiple Intelligency (Kecerdasan Majemuk), yang merupakan pendekatan mutakhir dalam dunia pendidikan. Sekolah Peradaban setipe dengan Sekolah Alam (SA).42)
Sekolah Alam (SA) merupakan sebuah persekolahan dengan terobosan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sebuah sekolah dengan pendekatan pembelajaran yang membuat siswa tetap riang gembira di saat sekolah berlangsung (joyful learning). Bukankah anak akan belajar secara efektif bila dia berada dalam kondisi fun dan nyaman.
Siswa yang telah berakal “Bagaimana cara BELAJAR dan BERPIKIR” dan telah menjadi bagian dari diri mereka, Insya Allah mereka akan tumbuh menjadi manusia yang mandiri secara ekonomi, memiliki hubungan kemanusiaan yang mantap, serta memiliki pertumbuhan kepribadian yang mantap. Dan mereka pun akan sangat mengenal diri mereka dan pada akhirnya mereka akan mengenal Tuhan-nya serta “Cinta” kepada-Nya akan semakin dalam dan abadi.
Belajar “BAGAIMANA CARA BELAJAR DAN BERPIKIR” berarti belajar dengan cara yang sesuai dengan cara otak belajar dan bekerja. Ini juga berarti proses pembelajaran akan sangat khas atau berbeda bagi setiap individu walaupun dengan materi yang sama, karena otak manusia sesungguhnya sangat individual, khas, dan spesifik.
Dengan keikhlasan setiap otak manusia ini, akan lebih optimal dan efektif bila kiranya setiap individu dikelompokkan sesuai dengan kekhasan cara belajar mereka. Kondisi fisiologis mereka ketika belajar juga akan sangat berpengaruh terhadap keefektifan cara belajar mereka. Suasana dan kondisi lingkungan yang menyenangkan (fun learning), akan sangat mendukung dalam proses pembelajaran ini.
Berdasarkan hal tersebut, sangatlah penting bagi kita untuk mengkonsep sebuah pendidikan yang menyelenggarakan sistem belajar mengajar yang menghargai setiap potensi yang ada, serta diselaraskan dengan kondisi psikologi siswa, sehingga otak mereka akan sangat mudah untuk bekerja sama dalam proses pembelajaran dan proses belajar pun akan menjadi sangat optimal dan efektif.
Siswa tidak hanya dikurung di dalam kelas, tetapi juga belajar di ruang terbuka dengan berbagai variasi model pembelajaran dan dikemas dalam aktivitas yang menantang dan game edukatif.
Budaya belajar harus menjadi “Petualangan seumur hidup” dan “Perjalanan eksplorasi tanpa akhir”, sehingga pertumbuhan seluruh kepribadian kita akan tercelup dan terwarnai dengan nilai-nilai yang kita pelajari. Dengan demikian “Belajar” akan menjadi sangat bermakna dan sanggup mencetak pribadi-pribadi yang beradab.
Inilah sekolah yang berusaha mengaplikasi model pembelajaran yang memperhatikan perkembangan psikologis siswanya. Mengembangkan kebiasan belajar sesuai dengan kondisi alami dan kejiwaan anak. Karena kita tahu, dunia anak adalah bermain. Maka proses belajar anak seharusnya tidak boleh terpisahkan dari dunia bermain.
2. Pengertian Ramah Anak
Desa ramah anak, kota ramah anak, sekolah ramah anak dan berbagai macam kata dan kalimat ramah anak sekarang mulai ramai digunakan dan dibicarakan oleh berbagai kalangan. Sebenarnya apa yang dimaksud ramah anak itu?
Kata ramah anak mulai marak dipakai setelah diadopsinya Hak-hak anak oleh PBB yang kemudian diratifikasi oleh hampir seluruh anggota PBB pada tahun 1989. Sejarah Hak Anak sebagai turunan langsung dari Hak Asasi Manusia adalah salah satu kisah perjalanan panjang sejarah perjuangan hak asasi manusia. Setelah perang dunia II yang menyebabkan banyaknya anak-anak yang menjadi korban, pada tahun 1979 dibentuk sebuah kelompok kerja untuk merumuskan hak anak. Kelompok kerja ini kemudian merumuskan Hak-hak Anak yang kemudian pada tanggal 20 November 1989 diadopsi oleh PBB dan disyahkan sebagai Hukum Internasional melalui konveksi PBB yang ditandatangani oleh negara-negara anggota PBB.47)
Menurut UNICEF Innocentty Research dalam kata ramah anak (CFC), ramah anak berarti menjamin hak anak sebagai warga kota.48) Sedangkan Anak Wayang Indonesia dalam masyarakat ramah anak mendefinisikan kata ramah anak berarti masyarakat yang terbuka, melibatkan anak dan remaja untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, serta mendorong tumbuh kembang dan kesejahteraan anak. Karena itu, dapat dikatakan bahwa ramah anak berarti menempatkan, memperlakukan dan menghormati anak sebagai manusia dengan segala hak-haknya. Dengan demikian ramah anak dapat diartikan sebagai upaya sadar untuk menjamin dan memenuhi hak anak dalam setiap aspek kehidupan secara terencana dan bertanggungjawab. Prinsip utama upaya ini adalah “non diskriminasi”, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Mengapa harus anak? Sesuai bunyi Pasal 4 UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan setiap anak berhak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi. Salah satu hak dasar anak tersebut adalah hak berpartisipasi yang diartikan sebagai hak untuk mengeluarkan pendapat dan didengarkan suaranya.49)
Selain yang telah disebutkan di atas, diakui atau tidak anak adalah tumpuan harapan semua orang tua. Pada anak dicurahkan segala perhatian serta harapan akan hari depan generasi penerus (keturunan) keluarga dan pada pengasuhan anaklah terjadi sinergisitas peran laki-laki dan perempuan. Setiap aspek dalam kehidupan keluarga, sekolah dan masyarakat baik langsung maupun tidak akan menyentuh anak. Orang tua bekerja mencari nafkah untuk menghidupi dan menyekolahkan anak agar dapat menjadi kebanggaan. Masyarakat melakukan berbagai hal adalah juga untuk kepentingan anak (sanitasi, pendidikan, dll). Maka tidaklah salah jika pembangunan dititikberatkan pada pemenuhan hak anak.
Anak mempunyai posisi yang strategis. Dalam keluarga anak adalah prioritas utama sebagai tumpuan masa depan keluarga. Pada anak seluruh harapan dan cita-cita orang tua tertumpah. Namun seringkali hal ini menjadi beban berat yang harus dipikul oleh anak. Manakala orang tua menjadikan anak sebagai pelampiasan obsesi mereka yang belum tercapai. Anak dijadikan sarana untuk mengejawantahkan impian mereka. Tentu saja hal ini menjadi tidak sehat bagi anak, mereka dipaksa berjalan menurut rel yang telah diariskan orang tua mereka tanpa bisa melawan.
Meski demikian diakui maupun tidak semua upaya yang dilakukan orang tua adalah demi anak. Demi penerus garis keturunan orang tua akan melakukan apa saja. Orang tua bekerja membanting tulang untuk memenuhi segala kebutuhan anak. Mereka akan selalu berusaha melindungi anak meski anak melakukan kesalahan. Hal ini adalah wajar dan menjadi fitrah mereka sebagai orang tua.
Dalam sebuah komunitas anak juga mempunyai posisi yang strategis. Anak adalah “embrio”, sebuah komunitas baru. Dengan demikian anak menjadi penentu nasib perjalanan suatu komunitas. Anak juga dipandang sebagai tunas muda yang akan menjadi generasi baru penentu masa depan komunitas. Maka anak harus dipandang dan diberlakukan sebagai komunitas terpilih dalam komunitas besarnya.
Anak akan tumbuh dan berkembang dengan optimal bila berada pada lingkungan yang mendukung. Baik lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat sekitarnya. Secara garis besar ada beberapa ruang lingkup dimana anak tinggal dan hidup, dimana lingkunga ini sangat berpengaruh terhadap terciptanya Sekolah Ramah Anak ini. Yang pertama adalah keluarga kemudian lingkungan masyarakat (baik lingkungan desa, kota ataupun negara). Ruang lingkup yang lebih besar lagi adalah dunia internasional.
Sekolah Ramah Anak (SRA) ini bisa terwujud apabila pisat pendidikan (sekolah, keluarga dan masyarakat) bisa bahu membahu membangun Sekolah Ramah Anak (SRA) ini.
Keluarga adalah komunitas terdekat bagi anak didik. Lingkungan keluarga yang ideal bagi anak adalah sebuah lingkungan keluarga yang harmonis., sehat baik lahir maupun batin. Lingkungan semacam ini hanya dapat tercipta manakala sebuah keluarga dapat memenuhi beberapa indikator sebagai berikut:50)
a. Mampu memberikan hidup yang layak bagi (sandang, pangan, papan), kesehatan dan pendidikan yang memadai bagi anak.
b. Mampu memberikan ruang kepada anak untuk berkreasi, berekspresi, dan berpartisipasi sesuai dengan tingkat umur dan kematangannya.
c. Mampu memberikan perlindungan dan rasa aman bagi anak.
Dalam sebuah keluarga yang harmonis, sejahtera dan terlindungi anak akan tumbuh dan berkembang secara wajar dan mampu mengoptimakan setiap potensi yang ada dalam dirinya.
Lingkup selanjutnya adalah lingkungan (masyarakat). Lingkungan masyarakat yang mampu melindungi, nyaman dan aman akan sangat mendukung perkembangan anak. Anak sebagai pribadi yang berkembang dan mencari jati diri. Dalam pencariannya anak mempunyai kecenderungan untuk mencoba hal baru serta mencari pengakuan dari sekitarnya. Dalam kerangka ini anak seringkali berusaha meniru atau menjadi beda dengn sekitarnya.
Sebuah komunitas yang sehat bagi anak adalah komunitas yang mampu menerima dan menghargai anak sebagai pribadi, apa adanya. Komunitas ini juga harus mengakomodir kepentingan anak untuk berekspresi, berapresiasi dan berpartisipasi. Selain itu yang tak kalah penting adalah bagaimana komunitas mampu memberikan perlindungan pada anak sehingga anak meraasa aman tinggal dan berinteraksi di dalam komunitasnya.

B. Konsep Sekolah Ramah Anak
1. Indikator Sekolah Ramah Anak (SRA)
Sekolah ramah anak adalah sekolah yang terbuka melibatkan anak dan remaja untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, serta mendorong tumbuh kembang dan kesejahteraan anak. Untuk mencapai itu semua diperlukan indiaktor untuk bisa mencapainya, diantaranya adalah sebagai berikut:51)
a. Inklusif secara proaktif
1) Secara proaktif mencari semua anak yang termarginalisasi dari pendidikan.
2) Mempromosikan dan membantu anak untuk memonitor hak-hak dan kesejahteraan semua anak di masyarakat.
3) Menghargai keberagaman dan memastikan kesetaraan kesempatan.
4) Memberikan pendidikan yang bebas biaya dan wajib serta murah dan aksesibel.
b. Sehat, Aman dan Protektif
1) Fasilitas toilet yang bersih.
2) Akses kepada air minum yang bersih.
3) Tidak ada kuman fisik atau gangguan.
4) Pencegahan HIV dan AIDS dan non diskriminasi.
c. Partisipasi Masyarakat
1) Terfokus pada keluarga
a) Bekerja untuk memperkuat keluarga sebagai pemberi asuhan dan pendidikan utama bagi anak.
b) Membantu anak, orang tua dan guru membangun hubungan harmonis dan kolaboratif.
2) Berbasis komunitas
a) Mendorong kemitraan setempat dalam pendidikan.
b) Bertindak dalam dan dengan masyarakat untuk kepentingan.
d. Efektif dan berpusat pada anak
1) Bertindak menurut kepentingan terbaik tiap anak.
2) Peduli kepada anak “seluruhnya”; kesehatan, status gizi dan kesejahteraan.
3) Peduli tentang apa yang terjadi kepada anak sebelum mereka masuk sekolah dan setelah pulang dari sekolah.
4) Metode yang kreatif di dalam ruang kelas.
e. Kesetaraan gender
1) Mempromosikan kesetaraan gender dalam penerimaan dan prestasi.
2) Bukan hanya kesempatan yang sama tetapi kesetaraan.
3) Menghilangkan stereotipe gender.
4) Menjamin fasilitas, kurikulum, buku dan pengajaran yang sesuai untuk anak perempuan.
f. Sistem Sekolah Ramah Anak
1) Pengajaran yang sesuai dengan kurikulum kemampuan dan gaya belajar tiap anak.
2) Belajar aktif, kooperatif, dan demokratis.
3) Isi terstruktur dan materi dan sumber daya yang berkualitas baik.
4) Mengajar anak bagaimana belajar: melindungi anak dari pelecehan dan bahaya kekerasan.
2. Ciri-ciri Sekolah Ramah Anak
Ada beberapa ciri-ciri Sekolah Ramah Anak yang ditinjau dari beberapa aspek:52)
a. Sikap terhadap murid
1) Perlakuan adil bagi murid laki-laki dan perempuan, cerdas-lemah, kaya-miskin, normal-cacat, anak pejabat-anak buruh.
2) Penerapan norma agama, sosial dan budaya setempat.
3) Kasih sayang kepada murid, memberikan perhatian bagi mereka yang lemah dalam proses belajar karena memberikan hukuman fisik maupun nonfisik bisa menjadikan anak trauma.
4) Saling menghormati hak-hak anak, baik antar murid, antar tenaga, kependidikan serta antara tenaga kependidikan dan murid.
b. Metode Pembelajaran
1) Terjadi proses belajar sedemikian rupa sehingga siswa merasakan senang mengikuti pelajaran, tidak ada rasa takut, cemas dan was-was, siswa menjadi lebih aktif dan kreatif serta tidak merasa rendah diri karena bersaing dengan teman siswa lain.
2) Terjadi proses belajar yang efektif yang dihasilkan oleh penerapan metode pembelajaran yang variatif dan inovatif. Misalnya: belajar tidak harus di dalam kelas, guru sebagai fasilitator proses belajar menggunakan alat bantu untuk meningkatkan ketertarikan dan kesenangan dalam pengembangan kompetensi, termasuk lingkungan sekolah sebagai sumber belajar (pasar, kebun, sawah, sungai, laut, dll).
3) Proses belajar mengajar didukung oleh media ajar seperti buku pelajaran dan alat bantu ajar/peraga sehingga membantu daya serap murid. Guru sebagai fasilitator menerapkan proses belajar mengajar yang kooperatif, interaktif, baik belajar secara individu maupun kelompok.
4) Terjadi proses belajar yang partisipatif. Murid lebih aktif dalam proses belajar. Guru sebagai fasilitator proses belajar mendorong dan memfasilitasi murid dalam menemukan cara/ jawaban sendiri dalam suatu persoalan.
5) Murid dilibatkan dalam berbagai aktifitas yang mengembangkan kompetensi dengan menekankan proses belajar melalui berbuat sesuatu (learning by doing, demo, praktek, dll).
c. Penataan Kelas
1) Murid dilibatkan dalam penataan bangku, dekorasi dan ilustrasi yang menggambarkan ilmu pengetahuan, dll. Penataan bangku secara klasikal (berbaris ke belakang) mungkin akan membatasi kreatifitas murid dalam interaksi sosial dan kerja dikursi kelompok.
2) Murid dilibatkan dalam menentukan warna dinding atau dekorasi dinding kelas sehingga murid menjadi betah di dalam kelas.
3) Murid dilibatkan dalam memajang karya murid, hasil ulangan/ test, bahan ajar dan buku sehingga artistik dan menarik serta menyediakan space untuk baca (pojok baca).
4) Bangku dan kursi sebaiknya ukurannya disesuaikan dengan ukuran postur anak Indonesia serta mudah untuk digeser guna menciptakan kelas yang dinamis.
d. Lingkungan Kelas
1) Murid dilibatkan dalam mengungkapkan gagasannya dalam menciptakan lingkungan sekolah (penentuan warna dinding kelas, hiasan, kotak saran, majalah dinding, taman kebun sekolah, dll).
2) Tersedia fasilitas air bersih, hygiene dan sanitasi, fasilitas kebersihan dan fasilitas kesehatan.
3) Fasilitas sanitasi seperti toilet, tempat cuci, disesuaikan dengan postur dan usia anak.
4) Di sekolah diterapkan kebijakan/peraturan yang mendukung kebersihan dan kesehatan. Kebijakan/peraturan ini disepakati, dikontrol dan dilaksanakan oleh semua murid (dari-oleh-dan untuk murid).

3. Prinsip Membangun Sekolah Ramah Anak
Ada beberapa prinsip yang mungkin bisa diterapkan untuk membangun sekolah yang ramah anak, diantaranya adalah:53)
a. Sekolah dituntut untuk mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah media, tidak sekedar tempat yang menyenangkan bagi anak untuk belajar.
b. Dunia anak adalah “bermain”. Dalam bermain itulah sesungguhnya anak melakukan proses belajar dan bekerja. Sekolah merupakan tempat bermain yang memperkenalkan persaingan yang sehat dalam sebuah proses belajar-mengajar.
c. Jika saat ini sekolah hanya menuntut anak dengan berbagai nilai-nilai positif berdasarkan perspektif prestasi orang tua dan target pengajaran para pendidik, maka sekolah perlu menciptakan ruang bagi anak untuk berbicara mengenai sekolahnya. Tujuannya agar terjadi dialektika antara nilai yang diberikan oleh pendidikan kepada anak.
d. Para pendidik tidak perlu merasa terancam dengan penilaian peserta didik karena pada dasarnya nilai tidak menambah realitas atau substansi para obyek, melainkan hanya nilai. Nilai bukan merupakan benda atau unsur dari benda, melainkan sifat, kualitas, suigeneris yang dimiliki obyek tertentu yang dikatakan “baik”. (Risieri Frondizi, 2001:9)
e. Sekolah bukan merupakan dunia yang terpisah dari realitas keseharian anak dalam keluarga karena pencapaian cita-cita seorang anak tidak dapat terpisahan dari realitas keseharian. Penting bagi peserta didik untuk memiliki pemahaman bahwa ilmu yang didapat di sekolah tidak terpisah dari kehidupan ri’il. Keterbatasan jam pelajaran dan kurikulum yang mengikat menjadi kendala untuk memaknai lebih dalam interaksi antara pendidik dengan anak. Untuk menyiasati hal tersebut sekolah dapat mengadakan jam khusus diluar jam sekolah yang berisi sharing antar anak maupun sharing antara guru dengan anak tentang realitas hidupnya di keluarga masing-masing, misalnya: diskusi bagaimana hubungan dengan orang tua, apa reaksi orang tua ketika mereka mendapatkan nilai buruk di sekolah, atau apa yang diharapkan orang tua terhadap mereka. Hasil pertemuan dapat menjadi bahan refleksi dalam sebuah materi pelajaran yang disampaikan di kelas. Cara ini merupakan siasat bagi pendidik untuk mengetahui kondisi anak karena disebagian masyarakat, anak dianggap investasi keluarga, sebagai jaminan tempat bergantung di hari tua (Yulfita, 2000:22).

2 komentar:

  1. tulisan yang sangta bagus dan lengkap...boleh tau daftar pustakanya?

    BalasHapus
  2. makasih, daftar pustakany banyak, dari makalah2 n majalah dan lain2...

    makasih dah mampir

    BalasHapus