Hari-hari belakangan ini, kita dengan pedih melihat beragam kontes yang memperlihatkan kualitas dan mental pemimpin kita, yang cenderung berpikir parsial dan tidak berpijak pada masa depan. Kita melihat sebuah permainan aneh. Misalnya, hanya karena harga BBM turun tiga kali, lalu pemerintah dianggap berhasil dan prorakyat.
Kita juga menyaksikan betapa berapi-apinya seorang capres mengucapkan misinya untuk menyediakan sembako murah kepada rakyat. Atau, seorang calon presiden yang dengan gagahnya merasa pilu dengan kondisi ekonomi saat ini dan berjanji akan mengembalikan minyak-minyak murah kepada rakyat.
Visi dan mimpi masa depan. Dua hal itu yang tampaknya tidak dimiliki para pemimpin kita yang saat ini sudah berbusa-busa menggelontorkan janji-janji manis. Mereka yang menginginkan kursi panas RI-1 terus berkampanye di media massa , membuka aib dan kejelekan pemerintah sekarang dari berbagai sudut pandang.
Tak ada cita-cita dan harapan besar yang disampaikan para individu yang mengaku - ngaku sebagai pemimpin itu kepada bangsa ini. Mereka tidak memiliki mimpi masa depan, visi the next future yang cerdas. Mereka tidak memberikan harapan - harapan yang jauh lebih besar, meyakinkan, dan komprehensif kepada bangsa ini tentang kehidupan 20-30 tahun lagi. Bahkan, 50 tahun lagi.
Indonesia mengalami krisis multidimensi sampai detik ini. Krisis tersebut mendera berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, budaya, sains, kesehatan, dan kemanusiaan. Seakan tidak ada jalan keluar dari semua krisis tersebut. Adapun salah satu krisis yang paling nyata kita hadapi adalah krisis kepemimpinan.
Kecenderungan partai politik untuk tidak menyediakan kader pemimpin dari partainya terbawa sampai dengan saat ini. Mereka cenderung berpikir bagaimana menghadapi, meraih dan melanggengkan kekuasaan semata tanpa disertai dengan penyiapan pemimpin bangsa kedepan, ditambah dengan belum dioptimalkannya potensi anak muda dalam partai politik bersangkutan.
Masalah regenerasi kepemimpinan adalah hal yang seringkali dihadapi suatu Pemerintahan. Pemimpin seringkali belum dapat memaksimalkan dan mengoptimalkan SDM yang sudah dimiliki untuk menggantikannya memegang tampuk kepemimpinan jika ia pensiun atau dipromosikan.
Kita mengalami kegamangan dalam memilih tipe kepemimpinan yang tepat untuk negeri kita yang tercinta. Ada sebagian intelektual, yang menganjurkan ‘westernisasi’, yaitu secara total mengikuti gaya kepemimpinan Amerika Serikat atau Eropa. Ada juga sebagian yang merasa panik dengan gelombang globalisasi dan westernisasi, dan memilih berlindung di balik jubah primordialisme, entah berbasis agama, etnis, atau ras. Jaman sekarang, seakan-akan suri teladan dari founding father kita, yaitu Soekarno-Hatta, untuk memadukan timur dan barat seakan sudah dilupakan. Era globalisasi mengharuskan kita melakukan redefinisi mengenai makna kepemimpinan. Bukan bersandar pada romantisme masa lalu semata, namun juga bukan semata melakukan imitasi buta.
Jadi pada intinya seorang pemimpin masa depan apabila ingin efektif, maka diperlukan lebih banyak pengetahuan yang bersifat menyeluruh dan tidak perlu menjadi ahli, tetapi setidaknya cukup mengenal dengan baik untuk dapat menjawab pertanyaan yang tepat dari orang lain, memecahkan masalah dengan cerdas, serta membuat keputusan yang tepat yang didasari pada proses yang logis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar