Kamis, 21 Januari 2010

pendidikan tanpa kekerasan

Kekerasan sudah sedemikian merajalela ! Kesan itu semakin menyesakkan hati ketika kekerasan ternyata juga merambah dunia pendidikan, wilayah yang seharusnya menjadi wahana inseminasi nilai-nilai moral, peradaban dan ilmu pengetahuan. Sebagian pihak pun kemudian tergoda untuk memberikan kesimpulan awal bahwa sendi-sendi pendidikan telah terpuruk.

Profil kekerasan terhadap anak dalam Islam menjadi kasus yang mencolok. Islam menolak bentuk kekerasan terburuk selama sejarah peradaban manusia dan mengkritik secara kejam perlakukan orang jahiliyah yang mengubur anak perempuan hidup-hidup karena dianggap sebagai bumerang dalam keluarga.[1] Namun persoalan kekerasan terhadap anak hingga hari ini merupakan satu dari sekian kasus yang masih merupakan satu dari sekian kasus yang masih sering muncul dan melibatkan orang-orang terdekat sebagia pelaku, bahkan orang-orang yang semula dianggap sebagai gurunya atau pengasuh yang melindungi anak justru menjadi pelaku penting kekerasan.




Tak seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Sebagaimana tujuan pendidikan yang tertuang dalam sistem kerja GBHN yang isinya adalah :

Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan yang terampil. Kesehatan Jasmani dan Rohani, Kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[2]

Melihat betapa luhurnya tujuan pendidikan yang tertulis dalam GBHN tersebut, maka tujuan pendidikan dalam GBHN itu akan tercapai apabila proses yang dilalui oleh anak didik dalam pendidikan dilakukan dengan cara yang luhur pula. Yaitu dengan proses pendidikan yang ramah terhadap anak, tidak dengan cara yang kasar atau malah dengan cara kekerasan.

Sedikitnya ada dua prisma pemikiran yang terbangun ketika kristalisasi tujuan pendidikan akan dicapai lewat beberapa usaha. Pertama; aspek mana yang lebih dikedepankan untuk terjadinya percepatan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, aspek spiritual dan aspek material. Kedua; lembaga mana yang lebih berkompetensi serta mempunyai peluang dalam mengefektifkan pelaksanaan pendidikan untuk menjemput cita-cita pendidikan dalam program data pelaksanaannya.

Segala pendidikan pada dasarnya tetap diorientasikan pada bagaimana seorang peserta didik di masa depan dapat tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki harga diri dan kepribadian yang tidak sombong di masyarakat nantinya. Sebagaimana pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa pendidikan adalah “human investment”, ini berarti bahwa secara historis maupun filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etika dalam proses pembentukan jati diri bangsa.[3]

Oleh karena itu bagaimana sekarang memposisikan proses pembelajaran sebagai hal yang suci dan sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu sebuah proses pembelajaran yang tidak menindas dan tidak ada yang tertindas. Ketika seseorang merasakan hak-haknya dirampas, maka seharusnya ia menuntut. Pada dasarnya tidak ada yang dapat mengubah nasib kita kecuali diri kita sendiri.

Peserta didik dalam proses pendidikan adalah manusia. Sedang semua orang tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ia hidup dalam hubungannya dengan orang lain dan hidupnya bergantung pada orang lain. Karena itu manusia tidak mungkin hidup layak di luar masyarakat.[4]

Pendidikan merupakan tumpuan bagi masyarakat untuk bisa merubah keadaan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, obyektif, maupun “detachment” dari kondisi masyarakat.[5] Sedang pendidikan kita selama ini masih berjalan dengan verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan mata pelajaran. Pendidikan seakan terlepas dari kehidupan keseharian, seakan-akan pendidikan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari.

Menurut John Dewey ada dua hal dalam bukunya social and society, bahwa :

1) Jika masyarakat berubah, sekolah juga harus berubah, sebab sekolah merupakan tempat untuk mempersiapkan anak-anak untuk hidup dalam masyarakat.

2) Jangan sampai terjadi apa yang dipelajari di sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.[6]

Untuk itulah materi yang diajarkan dalam dunia pendidikan tidak boleh menyimpang dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Satu hal yang harus juga diperhatikan oleh para gurua, anak bukan sebuah cangkir yang dengan seenaknya diisi tanpa memperhatikan si anak itu merasa nyaman dalam proses pembelajaran itu apa tidak. Sesungguhnya kehidupan anak penuh dengan dinamika sesuai dengan perkembangan jiwanya. Pendidikan kecakapan hidup untuk anak-anak menjadi tidak berarti manakala bernuansa paksaan dengan pilihan-pilihan yang sempit, karena sudah ditentukan.[7]

Sekolah harus menjadi pusat kehidupan mereka saat ini. Mereka harus benar-benar menikmati pusat kehidupan itu. Sekolah adalah sumber kegembiraan, bukan sumber stres yang biasanya membuat mereka kehilangan gairah.

Menurut Romo Mangun,

Kemerdekaan dalam pendidikan dilihat sebagai kemampuan anak untuk mengakses pengetahuan dengan caranya sendiri. Masing-masing individu membangun kekuasaannya sendiri sebagai subjek.[8]

Para bijak sering memberi nasihat bagus. Bila ingin tahu wajah pendidikan di suatu negara, lihatlah apa yang terlihat pada wajah anak-anak sekolah dasar (SD) saat mereka pergi ke sekolah setiap hari. Di negeri ini, terutama di kota-kota besar, hampir menjadi pemandangan umum di pagi hari, anak-anak sekolah begitu keberatan beban. Tas dipunggung yang begitu besar, kelihatan penuh berisi buku-buku. Bahkan, sering terlihat karena tidak mampu menggendong tas berisi buku, anak-anak SD terpaksa menyeret tas yang sudah dilengkapi roda. Tidak hanya itu, pemandangan yang sepertinya keberatan beban itu masih ditambah dengan pemandangan lain. Tangan kiri menenteng tas berisi berbagai tugas sekolah, tangan kanan memegang tempat minum.

Wajah-wajah tertekan hampir terlihat dari setiap anak didik setiap kali mereka masuk sekolah. Suasana riang baru terasakan, saat mereka menerima pengumuman hari libur, atau pulang pagi karena guru rapat atau ada keperluan lain.

Sekolah kini tidak lagi menjadi tempat nyaman bagi anak-anak. Guru menjadi agen pengawas, penindas, dan merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadi lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pendek kata, sekolah tidak lagi menjadikan anak-anak merasakan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi justru mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan.

Hasil temuan komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari pengaduan masyarakat bahwa potert penyelenggaraan pendidikan selama ini masih terjadi ketidakpastian yang cukup serius, diantaranya: pertama, kekerasan berupa hukuman badan (Corporal Punishment) di beberapa sekolah telah menjadi bagian dari cara mendisiplinkan anak dalam memberikan hukuman badan bagi siswa yang melanggar disiplin dan hal yang umum dilakkan di sekola-sekolah; kedua, kekerasan sering terjadi saat anak dalam perjalanan pergi-pulang dan berada di sekolah; ketiga, kekerasan berupa penolakan sekolah terhadap anak berkebutuhan khusus.[9]

Pendidikan di sekolah seperti disebutkan di atas atau pendidikan yang membuat anak merasa terancam, disebutnya sebagai pedagogik hitam (schwarzer pedagogik).[10] Pertanyaannya kini adalah apakah pendidikan di Indonesia juga mengarah menjadi pedagogik hitam? Entahlah. Yang jelas, pendidikan di Indonesia sedang mengalami stres.

Melihat berbagai masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini, dengan skripsi ini penulis mencoba menjelaskan betapa pentingnya pendidikan yang mengedepankan kebebasan berekspresi para peserta didik sebagai keharusan sejarah dalam penyelenggaraan pendidikan dimanapun.

Sebagai salah satu tawaran, Sekolah Ramah Anak mencoba untuk bisa masuk ke dunia pendidikan anak-anak. Dunia anak adalah bermain. Dalam bermain itulah sesungguhnya anak melakukan proses belajar dan bekerja. Sekolah merupakan tempat “bermain” yang memperkenalkan persaingan antar siswa yang sehat dalam sebuah proses belajar mengajar.[11]

Seperti pemandangan yang mungkin tidak asing lagi bagi kita, sering kali guru memberikan hukuman fisik hanya karena tidak mengerjakan tugas rumah. Dan tentunya ini termasuk salah satu kekerasan dalam pendidikan dan hal ini merupakan perilaku melampaui batas, kode etik dan aturan dalam pendidikan, baik dalam bentuk fisik maupun pelecehan atas hak seseorang. Pelakunya bisa siapa saja : pimpinan sekolah, guru, staf, murid, orang tua atau wali murid, bahkan masyarakat.[12]

Melihat kekerasan yang kadang dilakukan oleh Guru itu, maka sekolah Ramah anak ini sebisa mungkin melakukan proses pendidikan tanpa kekerasan. Prinsip – prinsip yang diterapkan dalam Konsep Sekolah Ramah Anak ini adalah jika saat ini sekolah hanya menuntut anak dengan berbagai nilai-nilai positif berdasarkan perspektif prestasi orang tua dan target pengajaran para pendidik, maka sekolah perlu menciptakan ruang bagi anak untuk berbicara mengenai sekolahnya. Tujuannya agar terjadi dialektika antara nilai yang diberikan oleh pendidik kepada anak. Para pendidik tidak perlu merasa terancam dengan penilaian peserta didik karena pada dasarnya nilai tidak menambah realitas atau substansi pada objek, melainkan hanya nilai. Nilai bukan merupakan benda atau unsur dari benda, melainkan sifat, kualitas, sui generis, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”.[13]

Prinsip lainnya adalah sekolah bukan merupakan dunia yang terpisah dari realitas keseharian anak dalam keluarga karena pencapaian cita-cita seseorang anak tidak dapat terpisahkan dari realitas keseharian.[14] Penting bagi peserta didik untuk memiliki pemahaman bahwa ilmu yang didapat di sekolah tidak terpisah dari kehidupan riil.


[1] Mufidah Ch. Haruskah Perempaun dan Anak Dikorbankan? (Malang: Pilar Media, 2006), 61.

[2] Chalijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan (Surabaya : Al – Ikhlas, 2004), 180.

[3] Karnadi Hasan, Paradigma Pendidikan Islam (Semarang : Pustaka Pelajar, 2001), 233.

[4] Widda Djohan, Sosiologi Pendidikan (Ponorogo : STAIN Po Press, 2007), 43.

[5] Mansour Fakih, dkk., Pendidikan Popular (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), xiii.

[6] Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa (Yogyakarta : Hikayat, 2004), 191-192.

[7] Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah (Yogyakarta : PT LKis Pelangi Aksara, 2007), V.

[8] Y. Dedi Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional (Yogyakarta : Kanisius, 2007), 15.

[9] Susanto, “Menggagas Pendidikan Ramah Anak”, Tunas Bangsa (Edisi 02-2007), 7.

[10] Riant Nugroho, Pendidikan Indonesia : Harapan, Visi, dan Strategi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), 27.

[11] Basuki_afi@yahoo.com, diakses tanggal 19 April 2009.

[12] Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004), 7.

[13] Risieri Frondizi 2001: 9 lihat : Basuki-afi@yahoo.com, diakses tanggal 19 April 2009.

[14] Yulfita 2000 : 22 lihat : Basuki_afi@yahoo.com, diakses tanggal 19 April 2009.